ASPEK PIDANA DI ATAS KERETA REL LISTRIK/DIESEL REGULER (EKONOMI) DALAM WILAYAH JABODETABEK
Sari
Abstrak
Moda transportasi umum yang sangat popular bagi warga JABODETABEK untuk bepergian adalah Kereta Rel Listrik dan Kereta Rel Diesel (KRL dan KRD). Hal tersebut terbukti melalui pemandangan kita sehari-hari terutama pada hari kerja dan pada saat-saat tertentu, banyaknya penumpang sampai memadati pula tempat yang bukan semestinya diperuntukkan bagi penumpang kereta bersangkutan, yaitu di atas gerbong kereta karena mereka tidak dapat tertampung seluruhnya di dalam gerbong kereta bersangkutan. Apabila hal tersebut hanya dilihat melalui segi ekonomi (pemasukkan uang dari hasil pembelian tiket oleh para penumpang yang sedemikian padat tersebut) maka tentunya akan menghasilkan pemasukan uang yang cukup berarti bagi PT Kereta Api Indonesia. Sayangnya, ternyata bahwa padatnya penumpang tersebut justru dimanfaatkan oleh sebahagian dari para penumpang bersangkutan untuk tidak membeli tiket, dengan spekulasi: (a) tidak akan terdapat pemeriksaan tiket karena padatnya penumpang luar biasa, sehingga petugas
pemeriksa tiket (kondektur) pun enggan bersusah payah untuk mencari jalan melewati para penumpang yang untuk bergerak saja sudah sangat sulit; (b) kalaupun ternyata terdapat pemeriksaan tiket di atas kereta, para penumpang yang tidak membeli tiket akan membayar secara langsung kepada kondektur dengan sejumlah uang yang biasanya nilai jumlah uang tersebut lebih kecil atau sama dengan harga tiket yang dijual pada loket penjualan. Para kondektur pun pada umumnya akan menerima pembayaran langsung yang tidak resmi itu, dan selesailah persoalan. Kerja sama antara penumpang dengan kondektur KRL/KRD inilah yang akan dianalisis berdasarkan perspektif hukum pidana.
Moda transportasi umum yang sangat popular bagi warga JABODETABEK untuk bepergian adalah Kereta Rel Listrik dan Kereta Rel Diesel (KRL dan KRD). Hal tersebut terbukti melalui pemandangan kita sehari-hari terutama pada hari kerja dan pada saat-saat tertentu, banyaknya penumpang sampai memadati pula tempat yang bukan semestinya diperuntukkan bagi penumpang kereta bersangkutan, yaitu di atas gerbong kereta karena mereka tidak dapat tertampung seluruhnya di dalam gerbong kereta bersangkutan. Apabila hal tersebut hanya dilihat melalui segi ekonomi (pemasukkan uang dari hasil pembelian tiket oleh para penumpang yang sedemikian padat tersebut) maka tentunya akan menghasilkan pemasukan uang yang cukup berarti bagi PT Kereta Api Indonesia. Sayangnya, ternyata bahwa padatnya penumpang tersebut justru dimanfaatkan oleh sebahagian dari para penumpang bersangkutan untuk tidak membeli tiket, dengan spekulasi: (a) tidak akan terdapat pemeriksaan tiket karena padatnya penumpang luar biasa, sehingga petugas
pemeriksa tiket (kondektur) pun enggan bersusah payah untuk mencari jalan melewati para penumpang yang untuk bergerak saja sudah sangat sulit; (b) kalaupun ternyata terdapat pemeriksaan tiket di atas kereta, para penumpang yang tidak membeli tiket akan membayar secara langsung kepada kondektur dengan sejumlah uang yang biasanya nilai jumlah uang tersebut lebih kecil atau sama dengan harga tiket yang dijual pada loket penjualan. Para kondektur pun pada umumnya akan menerima pembayaran langsung yang tidak resmi itu, dan selesailah persoalan. Kerja sama antara penumpang dengan kondektur KRL/KRD inilah yang akan dianalisis berdasarkan perspektif hukum pidana.
Kata Kunci
KRL/KRD, tiket, denda, hukum pidana
Teks Lengkap:
PDFDOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol41.no4.260
Refbacks
- Saat ini tidak ada refbacks.
##submission.copyrightStatement##
##submission.license.cc.by-sa4.footer##